Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia , dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar Beringharjo di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar modern.
Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan dan hypermarket, supermarket, dan minimarket.
Keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup masyarakat yang modern. Kenyataan yang ada di lapangan saat ini adalah di berbagai kota metropolitan bahkan kota – kota kecil di tanah air dengan mudahnya kita dapat menjumpai minimarket, supermarket, bahkan hypermarket disekitar tempat tinggal kita. Pasar modern menjanjikan kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanja. Namun dibalik kesuksesan bisnis retail tersebut (pasar modern), terdapat persoalan khususnya untuk retail kelas menengah dan kelas kecil. Bahkan beberapa diantaranya memprotes ekspansi secara besar – besaran dari peritel kelas besar. Eksistensi pasar tradisional merupakan salah satu indikator paling nyata dari kegiatan ekonomi masyarakat disuatu wilayah.
Dalam majalah Tempo edisi 11-17 Juni 2007 menjelaskan bahwa kesan yang dapat ditangkap dari kondisi pasar tradisional yaitu: kumuh, kusam, penuh dengan pedagang kaki lima, jorok, bau, tidak nyaman, semrawut, tidak tertata, sampah yang menumpuk dan tidak terangkut, produk yang kotor akibat sanitasi kotor, produk yang tidak fariatif dan sebagainya. Hal ini seharusnya mulai dibenahi oleh pemerintah daerah yaitu dengan cara mengadopsi konsep pasar modern yang bersih, manajemen pasar yang baik, produk yang beragam dan keamanan yang terjamin. Pasar tradisional memiliki potensi untuk menyediakan lowongan kerja yang sangat besar. Musuh utama para pedagang di pasar tradisional diantaranya adalah: manajemen pasar yang tidak profesional, ketidak sinkronan antara insentif para manajer pasar dan keinginan pedagang yang membuat kedua belah pihaknya berjalan sendiri – sendiri. Hal ini terjadi dari mulai desain pasar, penataan, dan opreasionalisasi sehari – hari seperti: kebersihan, keliaran preman, dan pedagang yang berjualan diluar ketentuan awal. Akibatnya manfaat renovasi pasar bagi para pedagang dirasakan kecil, meskipun kenaikan retribusi tetap dilakukan. Dan pada beberapa waktu kemudian kondisi pasar kembali ke seperti semula yaitu: loyo, kumuh, semrawut, tak nyaman dan tak aman. Hal itu yang menyebabkan para pengunjung lebih memilih pasar modern yang lebih nyaman dan tak terkesan kumuh ketimbang pasar tradisioanal.